RSS

KETIKA HAWA KEHILANGAN ADAMNYA


Suara murotal surat Al – kafirun terlantun indah merdu di telingaku , berjajar karangan  bunga berucapkan bela sungkawa dan berduka cita , menghiasi halaman bertenda hitam ,ku berjalan dengan ragu dan melewati tamu  yang berwajah sayu , dan sendu. Ada yang sedang membaca yasin menyimpan duka , dan memaksa untuk membentengi air yang tumpah dari sudut mata, aku berjalan di belakang mamah , mamah yang sedari tadi tak mampu membendung air matanya dan menyalami keluarga yang berduka, aku sudah tak mampu menangis, aku juga tak mampu untuk berkata,hanya diam , dan menggandeng keponakanku yang masih berumur 4thn ini , dia tidak terlalu kecil untuk tau mengapa dia ada disini , dia juga sadar jika kita sedang takziah , dan benar saja , belum berapa lama ketika ku masuk rumah duka , hawa ungu sudah menyelimuti , dan membuat dia enggan masuk kedalam,
            “Chan , aku ikut papah …” rengeknya ketika mengetahui , tangisan mamah pecah ketika menyalami budhe. Aku hanya menatapnya, aku tau bagaimana ketakutanya , terpaksa ku putar kembali langkahku , dan ku antar ke tempat parkiran, aku kembali kerumah duka, tanpa sungkan ku lewati tamu yang berjajar dengn berseragam crem yang berlambangkan kota Surakarta,
aku mulai memasuki rumah duka , ku salami tamu , satu persatu ,budhe, pakde, om , tante , mbak , mas, tangisan mereka pecah ketika ku salami, aku hanya lirih berkata “ sabar …” ya… cukup itu yang mampu kulakukan , walau sebenarnya aku tau .. itu tak akan merubah perasaan yang ada di dalam hati mereka , ku ambil tempat duduk , di depan peti berwarna putih , berfoto pria paruh baya memakai baju khas jawa lengkap dengan keris dan blangkonnya, gagah …. Dan berwibawa, itu cirri khas orang jawa, setengah dari petinya terbuka, dengan pakaian idaman putih dan berkelambu juga , terlihat wajah damai dan tenang kurasa, setelah ku pandangi dan ku baca doa sebisanya.
ku alihkan pandanganku dan melihat wanita lanjut usia memandang kosong di atas kursi roda, ku dekati , ku cium tangannya, beliau tak berkata , tapi matanya bertanya, aku tau maksudnya dan aku langsung berkata “ajenk eyang ….” Beliau hanya menjawab “oh ajenk …ko tekan kene nduk? karo sopo?” "sama mamah eyang" eyang sudah sedikit berkurang daya ingatnya, mengenaliku saja yang jarang bertemu , sudah sangat mencengangkan untuku, dan entah sadar atau tidak beliau mencium kedua pipiku, aku masih mampu menahan tangisku. Aku tak ingin melihat beliau semakin berduka jika aku menangis di depannya, aku duduk dekatnya , beliau diam menatap peti yang menjadi wadah jasad pria yang dicintainya, tatapannya kosong , seperti hawa kehilangan seorang adamnya,seperti ketika nyawa kehilangan jiwanya, seperti tulang rusuk kehilangan rongga dadanya, seperti manusia kehilangan tulangnya….

     Entah … aku juga tak tau bagaimana perasaaanya, aku juga tak paham apa yang dirasakannya, nelongso kalau orang jawa bilang ,Mungkin lebih dari itu, tapi tak kulihat air matanya, mungkin telah lelah , lelah mengeluarkan airmatanya yang sudah beliau persembahkan untuk sang Belahan jiwa,  bisa kita bayangkan ketika kita kehilangan seseorang yang menemani kita setiap hari , melihat tawanya , melihat candanya, melihat senyumnya, melihat tangisnya, sekarang sudah tiada …. Hanya jasad tak bernyawa yang ada di hadapnya. Tak sadar air mataku bercucuran tanpa henti , membayangkan perasaan yang sedang di rasakan beliau,bagaimana perasaan seorang istri kehilangan seorang suami, mungkin akan seperti sebuah Negara yang kehilangan presidennya, atau seorang raja kehilangan seorang perdana menteri, mungkin lebih dari itu ….  menyakitkan , sangat amat menyakitkan ,ha ha … kita saja kehilangan seorang kekasih akan menangis sehari semalam , padahal itu hanya seorang kekasih yang hanya kita temui beberapa hari sekali , dan tak selalu bersamanya,terlalu konyol  untuk bisa dibandingkan ,  tapi ini seorang suami, seorang “GARWO” yang kata istilah jawanya “SIGARAN NYOWO” atau “BELAHAN JIWA” yang sudah menemaninya , tak hanya 1-2tahun, melainkan genap 50tahun hidup bersama, mengukir dan menjalani pait getirnya hidup , suka dan indahnya hidup, dalam bingkai sebuah rumah tangga.
aku tak akan membayangkan , karena aku tak mampu membayangkan , aku juga tak ingin merasakan, karena aku yakin , aku tak mampu untuk merasakan sakitnya ,. aku hanya berharap , aku mampu seperti beliau – beliau yang mampu mempertahankan Kapalnya sampai ke ujung pelabuhan , menjadi nahkoda dan awak kapal yang handal sampai usia senjanya, aku ingin seperti beliau-beliau yang mampu menimang anak cucu mereka sampai matahari terbenam di usianya. walaupun aku tau tak ada yang abadi di dunia ini, dan semua pasti akan kembali (kepadaNYA)

0 komentar:

Posting Komentar